Kesenjangan Perlindungan dan Kekeliruan Persepsi

KOMPAS.com - Meski sudah memiliki asuransi, namun belum tentu kita sudah bebas dari persoalan karena ternyata proteksinya tidak mencukupi. Apalagi mereka yang tidak dilindungi asuransi atau tidak memiliki dana cadangan.
Berapa perkiraan dana yang kita bayangkan dapat melindungi keluarga dari risiko kesehatan, kecelakaan yang menyebabkan cacat permanen, hingga kematian? Bagaimana kalau asuransi atau simpanan uangnya tak memadai?
Pengetahuan soal besarnya kesenjangan antara perkiraan kebutuhan dan perlindungan yang tersedia sangat berguna dalam menganalisa kondisi masyarakat. Berdasarkan pengetahuan ini kita dapat memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang kebutuhan dasar asuransinya.
Hasil studi AIA Financial ini juga menyimpulkan bahwa perkiraan risiko yang dirasakan rata-rata keluarga Indonesia di kota-kota besar nilainya secara total mencapai Rp 137 juta. Kebutuhan proteksi paling banyak terserap untuk menghadapi kematian, yaitu sebesar Rp 53 juta, lalu cacat permanen akibat kecelakaan Rp 36 juta, penyakit berat Rp 35 juta, dan penyakit ringan Rp 13 juta.
Tetapi, dengan tingkat inflasi rata-rata per tahun sekitar 6,5 persen (harga pangan, tagihan listrik, perbaikan rumah, biaya kesehatan dan pendidikan yang meningkat setiap tahunnya) justru dalam kenyataannya, total nilai risiko ini akan jauh lebih besar dari yang bisa kita bayangkan atau perhitungkan sekarang. Oleh karena itu, kebutuhan proteksi dalam kondisi nyata pasti lebih besar daripada temuan hasil survei tersebut.
Perkiraan total nilai risiko berbeda jika kita memilah antara responden yang memiliki asuransi dengan yang tidak memiliki asuransi. Mereka yang memiliki asuransi punya perkiraan nilai risiko hampir mencapai Rp 380 juta, sedangkan yang tidak memiliki asuransi hanya sebesar Rp 86 juta. Sedangkan dana cadangan yang tersedia untuk melindungi keluarga dari musibah di masa depan rata-rata hanya mencapai Rp 6 juta. Bagi mereka yang memiliki asuransi, dana cadangannya hampir mencapai Rp 25 juta, namun yang tidak memiliki asuransi simpanannya rata-rata hanya Rp 2 juta.
Mereka yang memiliki asuransi secara relatif sudah punya kesadaran betapa penting mengantisipasi setiap kejadian yang tak terduga di masa depan. Mereka juga sudah dapat memperkirakan berapa nilai kebutuhan proteksi yang seharusnya tersedia. Karena itu, perkiraan nilai risiko dan alokasi dana untuk berjaga-jaga jauh lebih tinggi.
Di sisi lain, mereka yang tidak punya asuransi seringkali menganggap asuransi itu hanyalah beban di sisi sumber daya keuangannya. Fakta membuktikan, hampir 1 dari tiga responden yang tidak punya asuransi mengatakan tak punya uang untuk membelinya. Sementara, satu dari sepuluh orang hanya pasrah saja pada nasibnya.
Bagi yang memiliki asuransi, persepsi nilai kebutuhan proteksi mereka adalah 4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak memiliki – hal ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan tingkat kesadaran atas risiko di masa depan.
Kita dapat menyimpulkan bahwa meski ada dana cadangan, ternyata tetap tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-harinya, termasuk membayar berbagai tagihan, berobat ke rumah sakit, atau menjamin masa depan anaknya. Ada tiga kemungkinan penyebabnya: pendapatan rendah, kebutuhan finansial yang semakin meningkat, atau salah memperkirakan total nilai risikonya sejak awal, sehingga dana cadangannya tidak cukup.
Survei yang sama menemukan kesenjangan antara kebutuhan proteksi dengan dana yang tersedia, baik itu dari asuransi atau dana cadangan dengan rata-rata sebesar Rp 106 juta atau 77 persen dari perkiraan total nilai risiko. Mengingat rata-rata penghasilan keluarga yang tak sampai Rp 5 juta per bulannya dan dana cadangan Rp 6 juta, keluarga yang ditinggalkan harus mencari bantuan finansial kurang lebih 20 kali dari penghasilan mereka apabila musibah tiba-tiba terjadi. Hal ini tentu mencerminkan sulitnya mengatasi kesenjangan proteksi tersebut.
Hanya dengan memproteksi diri dan keluarga melalui asuransi, maka kesenjangan dapat ditutup dan mampu memberikan jaminan keuangan bagi anggota keluarga yang ditinggalkan.
Mereka yang memiliki asuransi menilai risiko masa depan lebih tinggi, yaitu sebesar Rp 210 juta. Sedangkan, mereka yang tidak memiliki asuransi menilai risiko masa depan sebesar Rp 86 juta. Bagi yang memiliki asuransi mempunyai kesenjangan proteksi sebesar 55 persen, sementara yang tidak adalah sebesar 98 persen. Hal ini menunjukkan betapa riskan hidup mereka yang tak memiliki asuransi. Selain lebarnya kesenjangan, perkiraan mereka tentang nilai risiko juga terlalu kecil dibanding kebutuhan aktual.
Angka kesenjangan perlindungan secara nasional untuk mereka yang sudah memiliki asuransi adalah Rp 2.200 triliun. Kesenjangan proteksi bagi mereka yang tidak memiliki asuransi mencapai Rp 4.100 triliun. Dengan memperhitungkan penduduk Indonesia yang mencapai 237 juta jiwa dan rata-rata jumlah anggota keluarga empat jiwa, maka total kesenjangan proteksi seluruh keluarga Indonesia diperkirakan mencapai Rp 6.280 triliun. Angka ini mendekati hasil survei Swiss Re 2010 yang menyatakan kesenjangan proteksi di Indonesia mencapai Rp 6.300 triliun atau 711 miliar dollar AS (dengan kurs 1 dollar AS = Rp 8.900).
Dapat dipastikan keluarga yang tidak memiliki asuransi akan mengalami penurunan standar kualitas hidup jika tiba-tiba mengalami musibah, kecuali mereka melakukan perubahan yang mendasar.
Belanja asuransi seharusnya menjadi kebutuhan dan prioritas lebih tinggi dalam daftar pengeluaran. Masyarakat Indonesia memiliki tanggung jawab kepada keluarga dan diri mereka sendiri, untuk menentukan prioritas dan memastikan bahwa keuangan keluarga sudah seimbang, meliputi tingkat cakupan asuransi jiwa yang memadai.
Persepsi bahwa asuransi itu mahal dan tidak terjangkau tidaklah benar, dan hal ini haruslah diperbaiki. Sebagai contoh, seorang pengajar di sebuah lembaga pendidikan, berusia 38 tahun, sudah menikah, tidak merokok, punya dua orang anak. Beliau bisa mulai memproteksi diri dari risiko kematian akibat kecelakaan, dengan hanya membayarkan premi yang nilainya tidak lebih dari harga semangkuk mi instan setiap bulannya.
Asuransi seharusnya tidak dipandang sebagai beban pada sumber daya keuangan apabila kita mampu merencanakan keuangan dengan baik. Asuransi bukan beban tetapi aset; ini adalah perlindungan bagi kita dan keluarga yang bisa diandalkan terutama jika musibah terjadi. Kata “asuransi” dan “terjangkau” seyogyanya berjalan beriringan. Untuk itu, informasi yang tepat dan lengkap penting ditekankan oleh seluruh pelaku industri asuransi

Sumber:  http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/25/1255043/Kesenjangan.Perlindungan.dan.Kekeliruan.Persepsi


Analisis

Menurut saya, dana untuk proteksi diri memang sangat penting terutama di kota besar yang serba tidak pasti. Namuh kesalahan presepsi ini perlu lebih di sosialisasikan lagi, karena memang kenyataannya asuransi memang tidak semurah yang telah dijelaskan di atas kalaupun ada asuransi yang benar untuk kalangan ekonomi lemah seharusnya perusahaan asuransi lebih dapat mensosialisasikan produk mereka bukan hanya mengambil keuntungan dari produk asuransi yang mereka jual, dengan begini semua lapisan masyarakat dapat terproteksi dengan harga yang terjangkau.

0 comments:

Posting Komentar